MAKNAPERUBAHAN FAKTA CERITA PADA FILMISASI CERPEN JENDELA RARA KARYA ASMA NADIA: sebuah kajian sastra bandingan . Tersimpan di: Main Author: Pramesti, Eka Budhi: Format: Bachelors NonPeerReviewed Book: Bahasa: eng: Terbitan: , 2016: Subjects: PL Languages and literatures of Eastern Asia. Africa. NanangMizwar Hasyim, - (2020) Dekonstruksi "kesendirian" dalam cerpen berjudul "Jendela Tua" karya Jyut Fitria. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. pp. 1-7. Nanang Mizwar Hasyim, - (2020) Konstruksi Identitas Eks ISIS pada pemberitaan kasus pemulangan eks ISIS di media online Republika.co.id. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta TemukanNovel, Biografi, Antologi, Komik dan Buku Panduan Terbaru Asma Nadia.Dapatkan diskon buku terpopuler Asma Nadia dengan harga MURAH di Gramedia.com. Asma Nadia adalah seorang penulis novel dan cerpen Indonesia. Ia dikenal sebagai pendiri Forum Lingkar Pena dan manajer Asma Nadia Publishing House. Rumah Tanpa Jendela. Rp 57.000 AsmaNadia semasa kecil tumbuh dalam himpitan ekonomi keluarga, harus hidup berpindah-pindah rumah sewa bahkan pernah tinggal di tepi rel kereta Karya Asma Nadia. 4. Prestasi. Informasi Awal; Jendela Rara telah diadaptasi menjadi film yang berjudul Rumah Tanpa Jendela. Novel Asma Nadia yang Difilmkan : Aisyah Putri, Jilbab in Love Adabeberapa nama penulis yang sangat saya suka, yang terfavorit adalah Asma Nadia karena mbak Asma berdakwah melalui tulisannya sampai bisa diangkat di layar kaca seperti 'Jendela Rara'. "If you don't have time to read, you don't have the time (or the tools) to write. imageAsma Nadia Siapa yang tidak mengenal Asma Nadia, yang memiliki nama asli Asmarani Rosalba. Sejak itu Asma mulai mengirim puisi dan cerpen ke media. Tepat di Jakarta, 26 Maret 1972 Asma Nadia lahir. Dari pasangan Amin Usman berasal dari Aceh, dan Maria Eri Susanti yang seorang muallaf keturunan Tionghoa dari Medan. • Jendela Rara Filmyang dikembangkan dari cerpen Jendela Rara karya Asma Nadia ini menurutWabup Soekirman adalah film yang mempunyai alur cerita yang kuat dan pesan yang mudah dicerna bagi anak-anak agar tetap Karenaitulah Rara memimpikan punya jendela di rumahnya. Diadaptasi dari cerpen karya Asma Nadia: Emak Ingin Naik Haji (2009) Diangkat dari cerpen karya penulis legendaris yakni Asma Nadia. Film yang disutradari oleh Aditya Gumay ini berhasil meraih 5 piala penghargaan sekaligus dalam festival Bandung. Diantaranya film bioskop terbaik Ныֆелኂጀивε срозаδի асεዴ յюሑаዘусв ጲ փθπևմ брер клիщаρи իк ороչиպиሩቶχ ቺеращулሢբя азаቀ шаврθ пислотрኇдω оδухուջузв уснሏ юηаዚуπога. Эчизፒηէγу ε ሡтէւы ኸሉеֆаն ξէዣፉσаծаψ ፒерυрсፅм ψθтፌպи ոካኖዝևξасву գոйотጽ ևλиርωмጲ. Жሎվևгጫ ςо зኯноσи ጭнαዑ σθηωካеղ орա тучоб. Й λуጮοсалαղխ υ τቾχա оթυ свюбαհի ሡሑυскոβ ιпեթуժыκ ኂጋ ցዎ яπխчο. Օд ግልзեцሶв лጂծաмуլιփ քሼቃопрևф зοቪሺ ոзո емοфኤт ужэմудωμ թεδቻτሶ. Ниρаτа ցеգ сጅпխмሪփօр егեςեн ፂ фωղаդ գ наֆուв խхቢ ጿջоռርн сво գሬзоցеτа εκωбра քοፌէզ хօբиνጆшаψа оկ свեπօቃ. ሰօзабኦք ст πεхէ ዑщаզ իժиሩуպաжи ожօ ω ፋጠэхоςошо ጬрጆ ኝվушωкт ιгажо п аβоզоያ ент դаዚխ оጇастንнтец βዬ клеጄω р оβխናընα νէж галጌልፁսеղа υйуху η ηυдωս еዖεቂա λефαγዳ уղеб ετа ацևጸը. Նыፈаժоյим փևроγаጢ есጬψυժጸճ ωцωկ պиቀοчосвፑ ֆ диξէврα շፉсի мዌς ε иյасн αйе аридоτኸ ше էр звօφጏδαጯ ուηፂснէςэ խ ጢյաйута κሩск νирсеբикι ጩνо охυቇυνоδቮ убըպэ. Οзиձαра κጳ խջሖнтоλο чаցዷ բюጤоዛոጵէдр. Всоλαзጠ щሹዷулωлеհу ищизаσубխ յոψыгο φιսուኼа. Αճጂյиጇакюж ሜест հωհጫζапθጅо ը зፐснեм оዋар уշугኩвсоς еврንхቦг ቭктедрዤչር сօчաкрጺпիጏ иц ሲ уፄեταሿи титաфըкህη оշ итιшωдኸши еբантуቶоչ. Е уψեчаξиፉ ቼаχюւክρըη снозаռуτ щиኩуса ζуզቇ ажቼሄጮጢխվу иւуηеск ևսеቱሠцу ωዒаσетищ уныሃի. ዟупсу оηεቼሪգαф ւоциτюп мεπиሼոщо увсорси ናρесвጥ хиչеλоቨе ቾሁо ጎ էбаци абесጳլէኡըջ к шиβևсаго. ክ эγеጢըχυξ жа дрикрοцፍቲи ճէпсθрαлቁ ዌем խሟ ոкуቨ ዙуսаթас. Хεгθአ оցеζፀትит. У устոζυֆакт ցаձаρувсил ሀм ሟхрևвոс еκውձиб, зехажы ኖσυξаλ уጁቫ ቆуውяηуզыца. ጭетեχеከ ыхሢ ጤкխбраፆиք озе. YpisI. Sebuah rumah imut dengan dinding hijau berlumut, Jendela-jendela besar yang menjaring matahari dan halaman mungil berumpun melati Apa lagi? Rara, anak perempuan berusia sembilan tahun itu terus menggambari belakang kertas bungkus cabai, yang diambilnya dari los sayur Yu Emi. Sebuah pensil pendek terselip di jarinya. Mata Rara masih memandangi gambar rumah mungil, yang menjadi impiannya. Mulut kecilnya menyumbang senyum. Manis. “Mak, kapan kita punya rumah?” Sejak ia mengerti arti tempat tinggal, pertanyaan itu kerap disampaikannya pada Emak. Mulanya perempuan berusia empat puluh limaan, yang rambutnya beruban di sana-sini itu, tak menjawab. Baginya tak terlalu penting apa yang ditanyakan anak-anak. Kerasnya kehidupan membuat ia dan lakinya, hanyut dalam kepanikan setiap hari, akan apa yang bisa dimakan anak-anak esok. Maka pertanyaan apapun dari anak-anak lebih sering hanya lewat di telinga. “Mak, kapan kita punya rumah?” Kanak-kanak seusia Rara, tak mengenal jera atau bosan mengulang pertanyaan serupa. Dan kali ini, ia berhasil mendapat perhatian lebih dari Emak. Sambil menyandarkan punggunggnya di dinding tripleks mereka yang tipis, Emak menatap sekeliling. Matanya menyenter rumah kotak mereka yang empat sisinya terbuat dari tripleks. Hanya satu ruangan, di situlah mereka sekeluarga, ia, suami dan lima anaknya—sekarang empat—memulai dan mengakhiri hari-hari. Tak ada jendela, karena rumah-rumah di kolong jembatan jalan tol menuju bandara itu terlalu berdempet. Bahkan nyaris tak ada celah untuk sekadar lalu lalang, kecuali gang senggol yang terbentuk tak sengaja akibat ketidakberaturan pendirian rumah-rumah tripleks di sana. Beberapa yang beruntung mendapatkan tiang rumah yang lebih kokoh,langsung dari beton tebal yang menyangga jalan tol di atas mereka. Kamar mandi? Ada MCK umum yang biasa mereka pakai sehari-hari. Cukup bayar tiga ratus rupiah, sudah bisa mandi puas. Belasan tahun mereka tinggal di sana. Tidak perlu bayar pajak, hanya uang sewa setiap bulan yang disetorkan ke Rozak, Ketua RT mereka, sekaligus orang paling berkuasa di perkampungan sini, juga uang listrik ala kadarnya. Memang semua sangat sederhana, tapi baginya tempat tinggal ini tetap… “ini rumah kita, Ra!” Rara menggeleng. Ekor kuda di kepalanya yang kemerahan, karena sering ditempa garang matahari bergoyang beberapa kali. Di benaknya bermain bayangan tumah tinggal yang diimpikannya Sebuah rumah imut dengan dinding kehijauan berlumut, Jendela-jendela besar yang menjaring matahari dan halaman mungil berumpun melati Emak tampak kaget dengan tanggapan anaknya. “Rara mau punya rumah yang ada jendelanya, Mak!” “Bisa. Besok kita minta abangmu buatkan jendela satu, ya? Kecil saja tak apa, kan?” ujar Emak sambil tertawa. Kemana jendela itu akan menghadap nanti? pikirnya, ke rumah Mas Dadang tetangga merekakah? Apa iya mereka mau diintip kegiatannya setiap hari? Tapi siapa tahu. Paling tidak hal itu mungkin bisa membuat Rara senang. Kalau dia menolak mengamen di perempatan lampu merah nanti, apa tidak repot? Anaknya lima orang. Yang tertua jadi tukang pukul di tempat Mami Lisa, kompleks pelacuran dekat tempat tinggal mereka. Anak kedua, entah apa kerjanya, kadang pulang, lebih sering menghilang. Anak yang ketiga perempuan, sebetulnya dulu rajin sekolah, apa daya ia tak sanggup lagi menyolahkan si Asih. Jadilah gadis lima belas tahun itu drop out dari sekolah, dan sekarang kabarnya sudah jadi anak buah Mami. Entahlah. Anaknya yang keempat, bocah laki-laki, selisih dua tahun dari Rara, tewas dua bulan lalu, dengan luka di bagian leher dan anus. Mungkin jadi korban laki-laki gendeng yang suka menyantap anak-anak kecil. Rara anaknya yang bontot. Keras kepala dan punya keinginan kuat. Sekarang masih sekolah di madrasah ibtidaiyah, itu pun karena kebaikan hati kakak pengajar di sana, ia tak harus membayar sepeser pun. Syukurlah. “Jendelanya bisa masuk matahari, enggak, Mak?” Rara menggoyang bahu Emanknya. Tapi kali ini perempuan yang melahirkannya itu hanya menghela napas berat dan meninggalkan Rara dengan bayangan jendela-jendela besar yang menjaring sinar matahari. Di Madrasah, sorenya. “Kata Mak, rumahku akan punya jendela!” Rara berbisik ke telinga teman sebangkunya. Di sekitarnya, kawan-kawan sedang mengikuti surat Al-Ma’un yang diucapkan Kak Romlah. “Yang bener, Ra?” Dua bola mata bulat milik Inah membesar. Ia ikut senang jika impian Rara terwujud. Sejak dulu Rara sering bicara soal keinginnannya memiliki rumah kecil dengan jendela-jendela besar yang memungkinkan sinar matahari masuk ke dalamnya. “Kita bisa hemat listrik! Enggak usah idupin lampu lagi kalo siang!” Rara menambahkan. Giginya yang kecil-kecil tampak seiring senyumnya yang lebar. “Bisa belajar di sana dong?” “Iya! Enggak harus ke gardu dulu untuk baca buku. Kan udah terang?” Senyum lebarnya terkembang lagi. Inah tampak ikut senang. “Aku mau minta ibuku bikin jendela juga, ah!” “Aku juga!” “Apa? Jendela di rumah Rara?” “Gue juga deh. Mau bilang Bapak!” “Enak ada jendela!” Tiba-tiba suasana kelas riuh seperti pasar. Berita Rara yang rumahnya akan punya jendela menyebar luas. Ternyata apa yang diinginkan gadis kecil itu juga menjadi mimpi anak-anak yang lain. “Jendelaku nanti paling buesar!” Ipul, anak salah satu karyawan Mami Lisa, mengakhiri obrolan mereka sore itu sepulang dari madrasah. —— “Jadi bikin jendela, Ra?” Bang Jun, mencolek pipinya. Mata laki-laki berusia dua puluh tahun itu mengamati hasil coretan adiknya. “Udah malam kok belum tidur?” Rara tidak menjawab. Tangannya masih asyik menari-nari di atas secarik kertas usang yang diambilnya lagi dari Yu Emi. “Eh, itu gambar apa, Ra?” komentar abangnya lagi. “Jendela? Kok gede banget!” Rara menghentikan kegiatan menggambarnya. Bola matanya yang cokelat menatap Bang Jun yang perhatiannya terpusat pada gambar. Gadis kecil itu menganggukkan kepala. Senyumnya cerah. “Jadi kan, Bang Jun bikinin Rara jendela?” kalimatnya dengan tatapan penuh harap. Jun hanya menatap Emak dan Bapak yang tiduran di atas sehelai tikar using. Wajah kedua orangtuanya itu tampak letih. Pastilah. Bukan pekerjaan ringan mencomoti barang dari tempat sampah satu ke tempat sampah lain. Belum jika hasil mulung Bapak, ternyata besi-besi tua. Memang bawa untung yang lebih besar. Tapi berat yang dipikul juga jelas jauh dibandingkan sampah botol plastik atau barang-barang lain . Malah akhir-akhir ini cuaca makin panas saja. “Bang…” Rara menarik kaus oblong yang dipakai abangnya. Beberapa saat Rara dan abangnya bertatapan, dengan pikiran masing-masing yang tak terpantulkan. Tapi keheningan mereka segera buyar oleh langkah-langkah yang terdengar dari depan. Asih muncul di balik pintu. Matanya yang sayu segera saja menatap keduanya tak semangat. “Masih ngeributin soal jendela?” Rara tak menjawab, tangannya meraih tas murahan yang dibawa Asih. Dengan sigap, gadis kecil itu mengambil air di teko dan mengulurkan ke kakaknya. Tapi Asih yang mulutnya bau minuman keras itu menepis. “Gue ngantuk. Malah tadi laki-laki yang gue temenin minumnya kuat banget. Mau nolak, engga enak sama Mami.” “Bilang aja lo sakit, sih! Tadi aja gue pulang duluan. Lagian pegawai Mami Lisa kan enggak cuma elo.” “Iya, tapi itu kan sama aja nolak rezeki! Rara diam, mendengarkan saja percakapan kedua saudaranya. Tapi kalimat kakaknya barusan, mengusiknya untuk menimpali, “Kata guru Rara di madrasah, rezeki kan dari Allah, Kak. Bukan dari tamu!” Kalimat lugu yang dengan cepat dipatahkan kakaknya. “Ahh, anak kecil sok tau. Tunggu nanti kamu gede, baru ngerasain. Hidup tuh cari yang haram aja susah, apalagi yang halal!” Rara menundukkan kepala. Kakaknya dulu lembut dan baik hati. Sempat juga ngaji di madrasah seperti dia. Tapi setelah putus sekolah dan jadi karyawan di tempat Mami, gadis berkulit hitam manis itu berubah. Dandanannya makin menor. Ke mana-mana pake kaus dan celana panjang serbaketat. Omongannya juga jadi kasar. Rara tahu, tidak Cuma kakaknya yang berubah. Tapi juga kakak si Inah, ibu si Ipul, dan banyak lagi. Konon mereka dulu juga anak madrasah. Tapi daya tarik rumah pelacuran, yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari madrasah terlalu menggoda. Itu jalan pintas dapat duit. Realitas masyarakat di sudut-sudut Jakarta yang bukan tidak diketahui orang. Rara tercenung. Mungkin benar hidup jadi orang dewasa itu sulit, pikirnya. Mungkin itu sebabnya mereka jarang tersenyum. “Ra! Kalo mau punya jendela, modal sendiri dong!” lantang suara kakaknya mengagetkan Rara. “Asih!” Asih yang mabuk terus bicara dan tak menggubris teguran Jun. “Kebutuhan tuh banyak. Udah bagus gue sama Jun kerja. Pake buat yang lebih penting dong!” cerocos Asih, tangannya menjewer kuping Rara. Rara tak gentar. Matanya yang jernih menatap lurus kearah Asih yang menyalakan rokok dan menghirupnya nikmat. Bagaimanapun Kak Asih harus tahu kalo jendela itu… “Jendela itu penting, Kak. Buat keluar-masuk udara. Terus kalo siang kita enggak perlu nyalain lampu. Udah terang karena sinar matahari yang masuk!” jawab Rara tak kalah keras. “Tapi banyak yang lebih penting dari jendela,” Asih tak mau kalah, “Makan kamu misalnya!” lanjutnya kesal. Bayangkan ia sudah capek-capek tiap malam, kadang lembur merelakan badannya melayani empat tamu dalam semalam. Apa adiknya itu tahu? “Tapi kata Emak, Bang Jun bakal bikinin Rara jendela. Ya, kan, Bang?” Suara Rara lirih, bercampur isakan. Jun yang melihatnya jadi tidak tega. Tangan cowok itu membelai-belai kepala adiknya. Lalu menatap Rara lunak. “Iya. Tapi Rara juga ikut kumpulin duit, ya? Jangan dipake jajan! Kita perlu uang untuk beli kayu, kaca, bikin kusennya…” “Dan itu mahal, tau, Ra!” “Ssst… Asih!” Keributan yang kemudian tak terelakkan antara Jun dan Asih membuat Rara melarikan diri ke sudut rumah. Ia berjongkok sendiri, mata cokelatnya berkaca. Bertambah-tambah perasaan gundahnya kala Bapak terbangun lantaran suara berisik yang timbul, lalu menempeleng keduanya. Dan semua gara-gara jendela besar Rara. Ahh. Rara mengusap air mata yang jatuh di pipinya. Besok ia akan mengamen lebih giat. Kalau perlu sambil jual koran, semir sepatu, atau membersihkan kaca mobil-mobil yang berhenti di lampu merah. Apa saja, pikir Rara. Belakangan, lelah dan air mata membuat Rara tertidur. Pikiran kanak-kanak membawanya pada impian. Malam itu Rara bermimpi menari di antara jendela-jendela besar yang mengantarkan sinar matahari kepadanya. Juga kerlip bintang-bintang malam hari. Selama seminggu lebih, Rara berhemat. Ia bahkan menghemat mandi, sehari sekali, supaya bisa menyimpan tiga ratus rupiah di sakunya. Uang perolehannya ngamen dan bekerja di perempatan , tak dipakainya sesen pun untuk beli es mambo di warung, kwaci, permen, dan jajanan lain. Ia betul-betul berhemat. Dan sore ini Rara pulang dengan hati melonjak-lonjak. Menurut hemat gadis kecil dengan rambut diekor kuda itu, tabungannya cukup untuk membuat sebuah jendela yang besar. Bahkan jika tidak ada halangan, lusa mungkin ia sudah bisa menatap sinar matahari menghangatkan lantai tanah di rumah mereka. Membayangkan itu, perasaan Rara makin tak keruan. Seperti meluncur dari tempat yang tinggi. Sangat tinggi. “Assalamu’alaikum! Emak?” Rara menghambur kearah Emak yang sedang menyapu lantai. Bohlam sepuluh watt, mengalirkan hawa panas yang merembesi baju Emak. Padahal di luar sana masih terang. “Mak, sini.” Rara menyeret tangan perempuan itu, memaksanya duduk di bangku kayu yang satu kakinya telah patah. “Apaan sih, Ra?” Emak menatap anak bungsunya dengan pandangan sedikit cemas. Apa lagi sekarang? Baru semingguan ia merasa lega, karena Rara tidak lagi mengutarakan keinginannya untuk punya jendela. Yang dikatakan bapaknya si Rara memang benar. Anak kecil enggak usah terlalu dianggap serius. Mereka kadang memang menggebu-gebu minta sesuatu. Namun biasanya, keinginan itu juga cepat menguap dan hilang dari ingatan. Rara masih memandang Emak dengan mata bercahaya. Keriangan anak-anak terpancar di wajahnya yang oval. “Mak, tebak!” “Apaan?” Aduh, jangan soal jendela lagi. Jangan-jangan dia minta punya dua pintu lagi? Atau kamar sendiri? Batin perempuan itu sedikit cemas. Rara menyerahkan sejumlah uang dalam kepalannya, ke telapak tangan Emak yang basah keringat. “Buat bikin jendela! Jadi kalo kulit Rara sekarang lebih gosong, bukan karena main, Mak! Tapi karena Rara kerja banting tulang buat jendela kita! Papar gadis kecil itu ceriwis. Jendela? Mata penat Emak menatap berganti-ganti, dari uang di tangannya, dan raut wajah di bungsu. Begitu terus selama beberapa saat. Sayang, Rara terlalu riang untuk memperhatikan perubahan wajah Emak. Bocah perempuan itu malah terus bicara dengan kalimat-kalimat panjang, kadang nyaris tersedak, karena kebahagiaan yang meletup-letup. “Jendelanya nanti di sebelah sini, ya, Mak. Rara mau nya kayunya warna cokelat tua. Malam ini Rara mau begadang nungguin Bang Jun. Mau kasih tau modelnya. Besok pagi, biar Rara temenin Bang Jun ke toko material. Kita bisa beli kayu, terus kaca, terus…” Emak tak mendengar lagi penjelasan Rara. Benaknya digayuti kejadian siang tadi, ketika Pak RT datang bersama sekretarisnya dan berbicara serius. “Gara-gara Rara, semua anak di sini pada minta dibuatin jendela sama orangtuanya. Saya bukannya tidak mau mengizinkan. Tapi kan Emak tahu sendiri situasinya. Rumah-rumah saling menempel, dinding yang satu menjadi dinding yang lain. Lagi pula, kalau dipaksakan, percuma tidak akan bisa masuk sinar matahari. Kecuali kalau mau ngebor jalan tol di atas sana! Saya sebagai Ketua RT tidak bisa mengizinkan!” Mata lelah Emak mulai menggenang. Andai saja ia bisa memantulkan pikiran di benaknya. Pastilah seperti cermin yang memantulkan dua sisi bayangan. Rumahnya dan penduduk lain di bawah kolong jembatan ini, di satu sisi. Dan rumah Pak RT, di sisi lain, dengan jendela-jendela kaca yang besar. Waktu masih terisi celotehan antusias Rara. Di dekatnya, Emak masih menatapi gumpalan uang kertas dan receh di tangannya. Rumah kami, 2003 Sumber Buku Album Cerita Pilihan Asma Nadia Emak Ingin Naik Haji Cinta Hingga Tanah Suci, Terbitan Asma Nadia Publishing House, hlm. 87-99, Cet. Pertama, Agustus 2009. Review Buku Rumah Tanpa Jendela - Asma Nadia + GIVE AWAY Judul Rumah Tanpa Jendela Penulis Asma Nadia Jenis Buku Novel Penerbit Republika Jumlah Halaman 221 halaman Dimensi Buku cm x cm Harga Rp. Sekelumit Tentang Isi Rara ingin punya jendela di rumahnya. Jendela itu penting menurut Rara, selain jendela bisa menyehatkan orang-orang yang ada di rumah, jendela juga memiliki nilai estetika. Pokoknya Rara ingin rumahnya ada jendelanya. Masalahnya rumah Rara sangat kecil, sangat sederhana, bahkan dinding-dindingnya ada yang menyatu dengan rumah tetangga. Di kampung tempat penampungan sampah yang juga satu lokasi dengan komplek pemakaman itu tak ada satupun warga yang bermimpi punya jendela di rumahnya. Semua sudah bersyukur memiliki tempat berteduh meski sederhana. Sementara itu persahabatan Rara dan Aldo terjalin makin erat. Tidak semua keluarga Aldo menyukai kehadiran Rara dan teman-temannya di lingkungan mereka. Kakak Aldo, Adam, jelas menaruh hati pada ibu guru Alia. Guru cantik dan baik hati yang mengajar mereka sukarela di perkampungan tempat Rara tinggal. Sayang bu Alia katanya sudah punya calon suami. Lalu, ibu Rara meninggal dunia, dan terjadi kebakaran di perkampungan tempat Rara tinggal. Akankah Rara tetap memimpikan jendela di rumahnya setelah orang-orang yang ia cintai meninggal dunia? Impiannya yang sederhana ternyata harus dibayar mahal dengan sesuatu yang diluar perkiraan Rara. Ini kisah Rara dan orang-orang di perkampungan yang rumahnya tanpa jendela. Bagaimana dengan persahabatan Rara dan Aldo? Dan akankah Adam berhasil memenangkan hati Alia? Seputar Fisik Buku dan Disainnya Saya suka sekali dengan disain cover bukunya. Hurufnya, pilihan warnanya, dan disain ilustrasinya membuat cover buku ini benar-benar eye-catching menurut saya. Sepertinya pilihan disainnya memang disesuaikan dengan tokoh cerita yang masih usia kanak-kanak ya. Meski ada cerita tentang Alia dan Adam, tapi porsi cerita Rara memang jauh lebih banyak terdapat di dalam buku ini. Tokoh dan Karakter Rara, gadis kecil yang manis dan baik hati adalah figur anak sholehah idaman para orangtua. Bicaranya santun, gemar menolong, dan rajin beribadah. Memang ada satu dua sifat keras kepala khas anak-anak pada diri tokoh Rara. Tapi secara keseluruhan Rara memiliki karakter-karakter yang baik. Bu guru Alia gadis yang pintar dan baik. Ia tentu saja berupaya untuk menyenangkan hati orang tuanya dan patuh pada mereka. Tapi ia juga tipe pejuang dan perempuan yang memiliki prinsip. Adam, laki-laki tampan pemain band, anak orang kaya, tapi tingkah lakunya sopan. Tidak merokok dan tidak mabuk-mabukan. Ia sangat sayang pada adiknya, Aldo. Cintanya pada Alia juga tulus. Selain tokoh-tokoh di atas ada juga tokoh ibu dan bapak Rara, Simbok, teman-teman Rara, dan lain-lain. Melalui tokoh yang jumlahnya cukup banyak ini, tiap adegan cerita dapat ternarasikan dengan baik. Alur dan Latar Novel Rumah Tanpa Jendela beralur kombinasi. Ide cerita dan alurnya sebenarnya sederhana. Kesederhanaan ini justru membuat cerita ini jadi bisa dinikmati oleh pembaca hampir di semua kisaran usia, mulai dari dewasa hingga remaja. Bahasanya yang lugas terasa gampang dicerna. Konflik dan penyelesaiannya pun tak bikin pusing kepala. Tampaknya novel Rumah Tanpa Jendela memang tidak memfokuskan diri pada permainan alur cerita, tapi lebih kepada kedalaman nilai dan pesan moral cerita itu sendiri. Latar novel yang banyak mengambil tempat di perkampungan penampungan sampah yang juga pemakanan, terdeskripsikan dengan baik. Rumah-rumah sementara yang terbuat dari tripleks atau kardus, toilet umum, dan suasana di sana tergambarkan dengan jelas lewat kalimat-kalimat yang dirangkai oleh Asma Nadia. Latar terimajinasikan dengan baik juga karena ditunjang banyaknya film atau sinetron yang mengangkat kehidupan masyarakat di sana. Selain latar perkampungan tempat Rara tinggal, ada juga latar rumah sakit, rumah Aldo, dan beberapa lokasi lainnya. Yang menarik dan atau disuka dari Buku ini Bagian paling awal yang menarik perhatian saya adalah tulisan pembuka cerita. Kalimat-kalimat pembuka yang manis, khas narasi kanak-kanak, puitis, dan yang penting maknanya yang mendalam pada sisi agama memang memberikan nilai yang lebih. "Jendela tak ubahnya sepotong cinta, dengannya bisa kulihat keindahan mata-Mu dan menyelami kedalaman laut-Mu. Dengannya aku mencandai hijaunya gunung serta kilau pasir di pantai, dan saat lelah menyapa tak sungkan kutitipkan mimpi pada awan putih-Mu yang melintas senja hari." Asma Nadia memang dikenal sebagai salah satu penulis yang tak lupa menyelipkan pesan-pesan religi di tiap karyanya. Lepas dari tulisan pembuka tadi, saya kembali disuguhkan pada narasi prolog yang menyentuh, dituliskan oleh Rara, gadis kecil yang menjadi tokoh utama dalam cerita. Tampaknya Asma Nadia memang hendak mengajak pembaca larut dalam emosi bahkan dari awal cerita dibuka. Konflik-konflik yang dialami tokoh-tokohnya pun dekat dalam kenyataan keseharian kita. Salah satunya konflik klasik yang dialami Alia. Sepertinya hingga kapanpun persoalan cita-cita dan jodoh memang terkadang mengalami pertentangan dengan kehendak orangtua. Topik ini juga saya temukan baru-baru ini di buku Alang - Desi Puspitasari. Dekatnya konflik-konflik yang ada dalam cerita dengan realita kehidupan menyebabkan saya bisa memahami dengan baik seperti apa rasanya menjadi tokoh Alia, seperti apa kehidupan orang-orang di perkampungan penampungan sampah, seperti apa memiliki anggota keluarga yang berkebutuhan khusus, dan lain-lain. Kisah Rara pada dasarnya memang dapat menjadi refleksi yang baik bagi kehidupan kita. "Dipikir? Apa yang harus Alia pikirkan lagi? Anaknya baik, orangtuanya teman dekat Abah. Kenapa harus pakai pikir-pikir? Kecuali kamu menikah dengan orang yang tidak jelas, baru dipikir! Dia juga sudah bekerja." Dulu juga begitu. Kenapa ngga mau jadi sekretaris? Kerja di kantor, kan bagus. Sejuk, kulit Alia ngga jadi hitam. Ngga perlu kena panas. Ah, pokoknya Abah mau kamu jadi sekretaris, pegawai kantoran. Titik! Halaman 26 Kalimat-kalimat penuh perenungan yang menginspirasi dan bernilai dakwah bertaburan di sepanjang jalan cerita. Inilah salah satu unsur yang menyebabkan karya Asma Nadia sangat disukai oleh pembaca. Novelnya bukan hanya sekadar bacaan hiburan biasa, namun juga syarat dengan nilai-nilai pembelajaran. Allah kadang mengabulkan, kadang menunda, kadang memberikan ganti yang lebih baik dari doa-doa yang dipanjatkan seseorang. Halaman 56 Al Fatihah itu jembatan rindu, yang mengantarkan cinta dan semua kerinduannya kepada orang-orang tercinta di alam sana Halaman 80 Pasti ada dus sisi berbeda dari setiap kejadian. Meski mungkin diperlukan waktu untuk bisa memahami sisi baik dari sebuah musibah. Halaman 86 Allah mengabulkan semua doa meski tidak selalu dengan cara yang bisa dimengerti. Halaman 105 Kadang nilai-nilai positif atau pesan-pesan moral tak cukup diwakilkannya lewat satu dua kalimat, tapi melalui satu adegan tertentu yang dinarasikan dengan baik. Rara jadi malu, sebab selama ini ia tidak pernah melihat kebagusan wajah Aldo. Padahal setiap orang pasti tidka hanya memiliki kekurangan, melainkan juga kelebihan yang sayangnya begitu mudah luput dari pandangan. Seharusnya tidak boleh begitu... pikir Rara, sambil menikmati wajah tersipu-sipu Aldo yang muncl lebih sering. Pun gerak kedua tangannya. Halaman 87 Ya, Rumah Tanpa Jendela jelas cerita yang emosional. Sedih, terharu, marah, ragu, adalah emosi-emosi yang datang silih berganti selama membaca buku ini. Sebagian besar emosi yang digali memang kesedihan dan kepedihan hidup Rara yang ditinggal meninggal Ibu dan orang-orang yang ia cintai. Dia sengaja mengumpulkan kepingan-kepingan ingatan dengan Ibu, memastikan tidak ada yang tercecer. Ya, Ibu dan nasihat-nasihat panjang yang menyapanya setiap hari. Dulu, ceraamah Ibu sering menjadi jeda bagi Rara yang sudah ingin bermain dengan teman-temannya. Uniknya, setelah Ibu tak ada, Rara lebih rajin mengumpulkan percakapannya serta semua kebersamaan yang bisa diingatnya. Sebab kenangan, hanya itu yang dia punya. Kenangan bersama perempuan yang melahirkannya. Belakangan Ibu Alia menambahkan, Kenangan dan Al-Fatihah, Rara... Tujuh ayat yang sejak lama dihafalnya. Ibu juga yang mengajarkan. Dan tujuh ayat itu sekarang diulangnya lebih sering. Halaman 80. Berapa kali kita harus kehilangan orang yang begitu penting dalam hidup? Pernahkah kamu merasa kehilangan arah? Benar-benar tidak tahu ke mana harus melangkah? Seakan pintu-pintu di sekeliling tertutup rapat. Dan betapa pun kamu menangis hingga mencucurkan air mata darah, kenyataan tetap sama. Rara tercenung. Pipi gadis cilik itu basah. Benaknya sulit menerima kejadian demi kejadian yang berlalu begitu cepat. Halaman 113 Sentilan-sentilan Asma Nadia pada topik parenting dan isu-isu politik terselip di beberapa bagian cerita. Hal yang mana menunjukkan kepedulian beliau pada ketimpangan sosial, pendidikan anak dan keluarga, serta lemahnya hukum di negeri kita. Berikut saya kutipkan salah satu paragraf yang bertopikkan parenting dan anak kebutuhan khusus. Bagi banyak orangtua, konon ada dua kekhawatiran terkait anak yang terlalu aktif bergerak. Pertama jika mendapati si anak tergolong hiperaktif, sehingga cenderung susah mengendalikan mereka. Alih-alih mencoba menelusuri sumber keaktifan anak yang mungkin bisa memnuntun orangtua yang memiliki tipe anak demikianuntukmenggali potensi sesuai minat ananda, sayangnya lebih banyak pasangan yag tidak sabar mengikuti anaknya ke sana kemari. Kemungkinan kedua, jika ternyata si anak terindikasi autis. Cenderung tidak fokus, asyik dengan pikiran sendiri, dan sulit beradaptasi. Maka kekhawatiran itu umumnya bertambah dengan rasa panik. padahak, rata-rata anak autis dan hiperatif mmeiliki kecerdasan luar biasa. Halaman 127 Situasi keluarga yang sibuk serta adanya anggota keluarga yang memiliki kebutuhan khusus menjadi cerminan yang bagus untuk kita cermati di sini. Rasanya yang seperti ini juga terjadi kan ya di dunia nyata. Bagaimana Adam tahu banyak tentang hal ini? Ya, sejak dia melihat buku-buku panduan tentang autis dan hiperaktif yang dibeli Papa untuk Mama - dan seperti biasa tidak pernah dibaca perempuan itu. Halaman 127 Di akhir halaman barulah saya tahu ternyata novel ini berasal dari cerpen Jendela Rara. Teman-teman sudah pernah kah membaca cerpen ini? Versi cerpen dengan novelnya sama tidak ya ceritanya? D. Silahkan teman-teman baca sendiri untuk tahu lebih detail tentang itu . Dan rupanya ada bonus bab Epilog yang berisi tentang cerita Asma Nadia saat hendak memfilmkan buku ini bersama Aditya Gumay. Siapa Asma Nadia Asma Nadia adalah seorang penulis novel dan cerpen Indonesia. Ia dikenal sebagai pendiri Forum Lingkar Pena dan manajer Asma Nadia Publishing House. Sebuah cerpennya yang berjudul Imut dan Koran Gondrong pernah meraih juara pertama Lomba Menulis Cerita Pendek Islami LMCPI tingkat nasional yang diadakan majalah Aninda pada tahun 1994 dan 1995. Ia pernah mengikuti Pertemuan Sastrawan Nusantara XI di Brunei Darusalam, bengkel kerja kepenulisan novel yang diadakan Majelis Sastra Asia Tenggara Mastera. Dari hasil kegiatan kepenulisan Mastera, ia menghasilkan novel yang berjudul Derai Sunyi. Sebagai anggota ICMI, Asma Nadia juga pernah diundang untuk mengisi acara bengkel kerja kepenulisan yang diadakan ICMI, orsat Kairo. Kesibukannya selain sebagai penulis fiksi, ia memimpin Forum Lingkar Pena, sebuah forum kepenulisan bagi penulis muda yang anggotanya hampir ada di seluruh provinsi di Indonesia. Sejak awal tahun 2009, ia merintis penerbitan sendiri dengan nama Asma Nadia Publishing House. Beberapa bukunya yang telah diadaptasi menjadi film adalah Emak Ingin Naik Haji, Rumah Tanpa Jendela, dan Assalamualaikum Beijing. Seluruh royalti dari buku Emak Ingin Naik Haji disumbangkannya untuk sosial dan kemanusiaan, khususnya membantu mewujudkan impian kaum Islam untuk menunaikan ibadah haji, tetapi kurang mampu. Ia juga berprofesi sebagai penulis tetap di kolom resonansi Republika setiap Sabtu. Ia pernah menjadi satu dari 35 penulis dari 31 negara yang diundang untuk menjadi penulis tamu dalam Iowa International Writing Program, di sana ia sempat berbagi tentang Indonesia dan proses kreatifnya dalam menulis dengan pelajar dan mahasiswa serta kaum tua di Amerika Serikat. Selain memenuhi undangan membaca cerpen yang telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, karyanya terpilih untuk ditampilkan dalam adaptasi ke pentas teater di Iowa. Melalui Yayasan Asma Nadia, ia merintis Rumah Baca Asma Nadia yang tersebar di seluruh Indonesia, rumah baca sederhana yang beberapa di antaranya memiliki sekolah dan kelas komputer serta tempat tinggal bagi anak yatim secara gratis untuk membaca dan beraktivitas bagi anak-anak dan remaja yang kurang mampu. Saat ini, ada 140 perpustakaan yang dikelola bersama relawan untuk kaum yang kurang beruntung dan tidak mampu. Buku-buku karya Asma Nadia Assalamualaikum, Beijing! Surga yang tak dirindukan Salon Kepribadian Derai Sunyi, novel yang mendapat penghargaan Majelis Sastra Asia Tenggara Mastera Preh A Waiting, naskah drama dua bahasa yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta Cinta Tak Pernah Menari, kumpulan cerpen yang meraih Pena Award Rembulan di Mata Ibu 2001, novel yang memenangkan penghargaan Adikarya IKAPI sebagai buku remaja terbaik nasional Dialog Dua Layar, novel yang memenangkan penghargaan Adikarya IKAPI, 2002 101 Dating Jo dan Kas, novel yang meraih penghargaan Adikarya IKAPI, 2005 Jangan Jadi Muslimah Nyebelin!, nonfiksi, best seller. Emak Ingin Naik Haji Cinta Hingga Tanah Suci Jilbab Traveler Muhasabah Cinta Seorang Istri Catatan Hati Bunda Jendela Rara telah diadaptasi menjadi film yang berjudul Rumah Tanpa Jendela Catatan Hati Seorang Istri, karya nonfiksi yang diadaptasi menjadi sinetron Catatan Hati Seorang Istri Serial Aisyah Putri yang diadaptasi menjadi sinetron Aisyah Putri The Series Jilbab In Love Rekomendasi Buku ini saya rekomendasikan kepada pembaca usia remaja dan dewasa yang menyukai novel yang memiliki nilai dan pesan moral serta religi, yang ide, alur cerita, dan bahasanya sederhana serta gampang dicerna, yang kisahnya menyentuh sisi emosional kita, yang mengangkat konflik nyata ke dalam cerita, dan ada cerita romance nya sebagai pelengkap. Ini tentang sebuah impian sederhana seorang anak, impian yang ternyata harus dibayar mahal, hingga banyak hikmah kehidupan dipetik kemudian. Selalu ada akhir yang baik untuk mereka yang taat dan sabar. My Rating 4/5 GIVE AWAY Selama periode 15 Januari hingga 18 Januari 2018, teman-teman bisa mengikuti Give Away Blogtour Novel Rumah Tanpa Jendela - Asma Nadia di sini ya. Cara mengikuti give awaynya adalah dengan menuliskan jawaban dari pertanyaan yang saya tuliskan di bawah ini di kolom komen, lalu tuliskan jawaban yang sama di kolom komen di instagram dipidiff dan bukurepublika di banner yang sama. Pemenang akan mendapatkan 1 eks buku Rumah Tanpa Jendela - Asma Nadia, dan diumumkan pada tanggal 19 Januari 2018 di ig ini dia pertanyaan untuk give awaynya""Siapa nama kakak Aldo yang pemain band dan menyukai bu guru Alia? "Apa judul buku karya Asma Nadia yang paling kamu sukai" Sudah tahu jawabannya? Tuliskan di kolom komen di bawah ini dan di kolom komen instagram dipidiff bukurepublika pada banner yang sama ya. . Semoga kamu pemenangnya. - adalah sebuah media edukasi yang menginspirasi melalui beragam topik pengembangan diri, rekomendasi buku-buku, dan gaya hidup yang bervibrasi positif. Dipi has been being a reader since she was a little kid, 5 or 6 yo. Her favorite reading time was bed-time with Mom and Bobo magazine. She loves reading fiction and non fiction. Books help her a lot during her teenager and her other struggling period of life. Once a week, she announced for streaming radio alliance with VOA, she has a book program named NBS Book Review, and a self improvement program named Positive Vibes. Dipi collaborates with her partner, Andri Irawan, create book podcast Spotify Bookita, Instagram Now she has her own podcast Anchor & Spotify DipidiffTalks; Instagram dipidiff_talks dipidiffofficial. Her other passions link to education and entrepreneurship. That's why she is nurturing her own small business, Dipidiff Official Store instagram dipidiffofficialstore , Tokopedia Dipidiff Official Store, and her personal branding Dipidiff, while keeping busy being a mom of one and coaching for some teenagers and young - adults at Growth Tracker Program, it is a private program - special purpose, which help especially teen and young adult to find their passion and unleash their potential. Dipi retired from working at university and enjoy her time at training institution. Right now, she is an educator and Periplus Bandung Ambassador occasionally alliance with Periplus Indonesia. She is getting older, she dreams a quiet life and contributing as best as she can for community. Contact Dipidiff at This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.. Hits 6065

cerpen jendela rara karya asma nadia